Wednesday, September 28, 2005

Kawruh Basa

Istilah-Istilah dalam Sastra Jawa

  • babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah [Sunda], hikayat, silsilah, sejarah [Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia]
  • bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan.
  • gancaran: wacana berbentuk prosa.
  • gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
  • gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
  • guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang macapat].
  • guru lagu: [disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
  • guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
  • janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan.
  • japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
  • kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan, bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
  • kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsur pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek [guru dan laghu].
  • kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum.
  • macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan; secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat, yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa.
  • manggala: "kata pengantar" yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta--meskipun tak selalu ada--penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
  • pada: bait
  • parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun [Melayu].
  • parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
  • parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
  • pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
  • pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
  • panambang: sufiks/akhiran
  • panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
  • Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
  • pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
  • pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
  • saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
  • saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Anggara (Selasa), Buda (Rebo), Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
  • sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya.
  • sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
  • sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti--terutama--pembaitan secara ketat.
  • sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran, terutama moral.
  • sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional.
  • singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
  • sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
  • suluk: [1] jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang bersumberpada ajaran Islam; [2] wacana yang 'dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan 'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan.
  • supata: kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah.
  • tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
  • wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
  • wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
  • weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang.
  • wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.
KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki
(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah
(Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture
(Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku
(Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna
(Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh
(Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima
(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala
(Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki
(Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun
(itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki
(Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan
(Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun
(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa
(Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
(Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya
(Macam-macam lafalnya)

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 - 6 )

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah

Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 - 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Kumpulan Parikan

Walang kekek menclok ning tenggok, mabur maneh menclok ning pari
aja ngenyek karo wong wedok, yen ditinggal lunga setengah mati

Omah gendheng tak saponane
abot entheng tak lakonane

Walang abang menclok ning kara, walang biru walange putih
bujang maneh ora ngluyura, sing wis nduwe putu wae ra tau mulih

Andheng-andheng ana pilingan
aja dipandeng mundhak kelingan

Walang ireng mabur mbrengengeng, walang ireng dawa suthange
yen dha seneng aja mung mandeng, golekana endi omahe

Bisa nggambang ora bisa nyuling
bisa nyawang ora bisa nyandhing

Mikul suket dientul-entul
senenge banget nanging ora bisa kumpul

theklek kecemplung kalen
timbang golek luwung balen

abang-abang ora legi
tiwas magang ora dadi

andheng-andheng ngisor lambe
tiwas mandeng wis ana sing nduwe

nggawa takir isi gule, mangan kupat lawuh babat
aja mikir awake dhewe, delengen rakyat kang mlarat

jam papat wis nyumet kompor, nyumet kompor masak sarapan
dadi pejabat ja dadi koruptor, dadi koruptor golek suapan

kursi goyang sikile papat
nek berjuang ja golek pangkat

numpak dhelman nang Betawi
nek berjuang kudu wani mati

dalan sepur dilumpati
pengin makmur ja korupsi

gemak lontheng-lontheng
krasa penak ndengkang-ndengkeng

kicak jenang jahe
krasa penak meneng wae

susur mbako enak
turu kasur nggawe anak

kodhok kalung kupat
awak boyok ora kuwat

enteng-enteng omah rayap
nangis ngereng njaluk ijab

dalan sepur dilumpati
ajur mumur dilakoni

Wuku

Wuku iku arane unit wektu sing ditata saka 30 peken. Sa-peken utawa minggu katata saka 7 dina. Dadi sataun wuku katata saka 210 dina. Pangitungan nganggo wuku utawa diarani pawukon digunakake ing Bali lan Jawa.

Sajane ide dhasar saka pangitungan miturut wuku iki yaiku patemonane rong dina ing sistem pancawara(pasar) lan saptawara(peken) sing dadi siji. Sistem pancawara utawa pasaran katata saka limang dina, lha banjur sistem saptawara kata saka pitung dina.

Ing sawuku, patemonane antara dina pasaran lan dina peken wis mesthi. Conthone dina Setu-Pon ana ing wuku Wugu. Miturut kaparcayan tradisional wong Bali lan Jawa, kabeh dina-dina iki nduwe arti dhewe-dhewe.

Daftar Wuku-Wuku
  1. Sinta
  2. Landhep
  3. Wukir, Ukir1
  4. Kurantil, Kulantir1
  5. Tolu, Tulu1
  6. Gumbreg
  7. Wariga alit, Wariga1
  8. Wariga agung, Warigadian1
  9. Julangwangi, Julungwangi1
  10. Sungsang
  11. Galungan, Dungulan1
  12. Kuningan
  13. Langkir
  14. Mandhasiya, Medangsia1
  15. Julung pujut, Pujut1
  16. Pahang
  17. Kuru welut, Krulut1
  18. Marakeh, Merakih1
  19. Tambir
  20. Medangkungan
  21. Maktal
  22. Wuye, Uye1
  23. Manahil, Menail1
  24. Prangbakat
  25. Bala
  26. Wugu. Ugu1
  27. Wayang
  28. Kulawu, Kelawu1
  29. Dukut
  30. Watu gunung

1Jeneng alternatif, biasane sing dienggo ing Bali. Yen dideleng mung pasang aksarane (ejaan) sing rada beda.

Pawon

Akeh masakan sing dhadi pangane wong Jawa mulai jaman kalabendhu. Pramila, kaca iki nyobi mitulungi panjenengan sakabeh kanggo ngangkat masakan tanah Jawa.
  • Taoto
  • Sate Blora
  • Soto Lamongan
  • Soto Solo
  • Soto Kudus
  • Tahu lonthong Blora
  • Tongseng
  • Tahu lonthong
  • Sega Gudheg
  • Pecel Madhiun
  • Rawon
  • Rujak Cingur
  • Rujak Soto
  • Tahu Tek
  • Fosko
  • Dhawet
  • Mendhoan
  • Bothok Teri
  • Sego Gandul
  • Sambel Korek
  • Tempe Bacem
  • Sego Kucing
  • Intip
  • Kikil
  • Soto Dhok

Daftar Paribasa Jawa

Iki daftar paribasa lan saloka basa Jawa (durung komplit).

A
  • Anak polah bapak kepradah
  • Adigang, adigung, adiguna
  • Aja dumeh wong gedhe
  • Ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana
  • Alon-alon waton kelakon: Ora usah kesusu, sing penting kedaden
  • Ambeg parama arta: Kudu bisa ndhisikke sing utama
  • Asu gede menang kerahe
  • Ana daulate ora ono begjane: Wis arep nemu kabegjan, nanging ora sido
  • Angon ulat ngumbar tangan: Nyawang kahanan jalaran arep nyolong
  • Agomo ageming aji

B
  • Becik ketitik, ala ketara
  • Baladewa ilang gapite: Ilang kaluhurane
  • Banyu pinerang: Ngibarate pasulayane sedulur mesthi enggal pulihe

C
  • Canting Jali: Wong kang wis ora iso diisi meneh pikirane nggo ilmu. Amargo otakke wis ora nyandak. Utowo wong bodo arep sinau ping bola-bali tete ora bisa pinnter.
  • Cebol nggayuh lintang: Duwe kekarepan sing mokal bisane kalakon
  • Cathok gawel: Ora diajak rembugan, nanging melu-melu ngrembug
  • Cecak nguntal empyak: Gegayuhan kang ora timbang karo kakuwatane

D
  • Duwur kudung ngisor warung
  • Diwehi ati nggrogoh rempela.
  • Datan sisip sak lugut kolang kaling pinoro sosro: Tegese ora ono bedane babar pisan
  • Dudutan lan aculan: Tegese Padha kethikan, sing siji api-api ora ngerti

E
  • Emban cinde emban siladan: Tegese Siji lan sijine ora podho pangrengkuhe ( ora adil )
  • Embat-embat celarat: Tegese Nyambut gawe klawan ngati-ati banget
  • Emprit abuntut bedhug: tegese Prakoro sepele dadi gedhe( podo karo kriwik-an dadi grojog-an)

G
  • Golek molo
  • Gagak nganggo laring merak: tegese Wong asor (cilik) duwe tumindak kaya wong luhur.
  • Garang garing: Tegese Umuk sugih nanging sejatine kacingkrangan

H
  • Holopis kuntul baris: Tegese saiyek saeka proyo, bebarengan mrantasi gawe.

I
  • Idhu geni
  • Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani.

J
  • Jamur ing mangsa katiga.
  • Jer basuki mawa beya: Tegese yen pengin sukses kudu wani rekasa.
  • Jalma limpat seprapat tamat.
  • Jalma angkara mati murka: Tegese Nemu bilai jalaran saka murka
  • Jati ketlusuban luyung: Golongane wong becik kalebon wong olo
  • Njujul wuwul: tegese Prakasa sing ngundhak-undhaki rekoso

K
  • Kacang mongso ninggala lanjaran: Tegese anak ora bakal beda adoh sipate karo wong tuwane.
  • Kebo kabotan sungu.
  • Kebo nusu gudel.
  • Kependem Pakem.
  • Kuthuk marani sunduk.
  • Kutuk nggendhong kemiri: Nyandhang kang sarwa aji ngambah dalan kang gawat
  • Kesandung ing rata, kebentus ing tawang: Nemu beboyo sing ora dinyana-nyana
  • Kendel ngringkel, dhadhag ora godag: Ngakune ( katone ) kendel lan pinter, jebule jirih tur bodho
  • Kelacak kepathak: Wis ora biso mungkir maneh jalaran kabukten
  • Kebo bule mati setra: Wong pinter nanging ora ona sing nganggokake
  • Kebo ilang, tombok kandang: Wis kelangan, malah kudu ngetokake wragad maneh
  • Kebat kliwat gancang pincang: Tumindak sarwa kesusu, asile mesthi ora kebeneran
  • Kandhang langit kemul mega: Wong sing ora duwe papan panggonan
  • Kadang konang: Ngakoni sadulur mung karo sing sugih-sugih

L
  • Lali karo barute
  • Ladak kecengklak: Wong angkuh nemahi kacilakan amargo kalakuane dewe
  • Lahang karoban manis: Bagus / Ayu rupane tur luhur bebudene

M
  • Mikul dhuwur, mendhem jero.
  • Mulat sarira angrasa wani, rumangsa melu andarbeni, wajib melu angrukebi.
  • Matang tuna numbak luput: Tansah luput panggayuhe
  • Meneng widoro uleran: Wong kang laire katon anteng, nanging tibake ala atine
  • Menthung koja keno sembagine: Rumangsane ngapusi, nanging sejatine kapusan
  • Mrojol selaning garu: Linuwih ( pinunjul ing kawruh ) langka sing madhani
  • Mowo coro mowo rupo

N
  • Nguyahi banyu segara: pegawean sing sia-sia
  • Ngrusak pager ayu.
  • Nawu lintang
  • Ngundhuh wohing pakarti: Wong kih bakal nompo wales opo kang ditindakake. Hukum karma.
  • Nucuk ngiberake: Wis disuguh, mulihe nyangking suguhan (mbrekat)
  • Ngagar metu kawul: Ngojok-ojoki supayo dadi pasulayan
  • Nglungguhi klasa gumelar: Wong asor biso ngalahake wong luhur ( gedhe ) nganti gawe kagete wong akeh
  • Nyangoni kawulo minggat: Ndandani barang kang pijer rusak
  • Nyunggi lumpang kentheng: Luwih becik rekasa dhisik, ing tembe burine bakal kapenak

O
  • Obor blarak
  • Ojo dumeh: Aja sewenang-wenang. Dupeh wong sugih ngenyek sing mlarat, dupeh wong pinter ngenyek sing bodo, dupeh gagah utawa ayu ngenyek sing elek. Wong urip kudu brayan karo liyan, ing ngarsaning Gusti Allah kabeh menungsa utawa barang sing urip liyane pada baen. Jerene Pak Kyai, arepa sugih, arepa pinter, arepa ayu, arepah gagah mentereng, maring ngendi-ngendi nggondol (nuwun sewu) éé.
  • Othak athik gathuk: Tegese nggothak nggathuke kahanan kang dumadi karo kanyatan liyane saengga trep cocok, kamangka durung karuwan yen ana hubungane.
  • Ojo golek wah, ndak dadi owah: Wong kuwi yen nindakake salah sawijining tindak utowo pegawean ojo golek puji2an, malah dadi kuciwa

P
  • Pakulinan iku kodrat sing kapindho

R
  • Rawe-rawe rantas malang-malang putung.

S
  • Sapa sira sapa ingsun.
  • Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.
  • sopo gawé nganggo.
  • Sumór gólèk timbo.
  • sadumuk bathuk, sanyari bumi
  • Sing biso rumongso, ojo rumongso biso: Wong kih tansah kudu iso rumongso marang awake dewe, samadya, ora terus kabeh dianggep biso utowo angah-angah, diayahi kabeh.

T
  • Tuna sathak bathi sanak: Tegese tuna materi nanging bathi oleh sedulur.
  • Tembang rawat-rawat, ujare bakul sinamberawa: Kabar kang durung mesthi bener lan lupute
  • Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati: Turunane wong cilik dadi wong gedhe, turune wong gedhe dadi wong cilik
  • Tega larane ora tego patine
  • Tumbak cucukan

U
  • Ubaya saksi
  • Ubut saksi
  • Udan gemblong omahe wong, udan gaplek omahe dhewe, meksa luwih becik ing omahe dhewe
  • Ulah semu
  • Ujaring wong pepasaran
  • Ula marani gebug
  • Ulangan cumbon
  • Ulat madhep ati arep
  • Ula-ula dawa
  • Undhaking pawarta sudaning kiriman
  • Undhaking pawarta sudaning titipan
  • Undha usuk
  • Ungak-ungak pager arang
  • Unjal angempan
  • Upaya prabeda
  • Upaya saksi
  • Urik klelet candu tike
  • Urun rembug
  • Urun wudhu
  • Usung-usung lumbung
  • Utange nurut wulu
  • Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati
  • Utang nyaur, nyilih ambalekake
  • Uwot gedebog
  • Uyah kecemplung segara

W

  • Witing tresna jalaran saka kulina
  • Wong legan golek momongan

Y

  • Yitna yuwana lena kena: sing ati-ati bakal nemu slamet, sing sembrono bakal nemu cilaka